Senin, 07 April 2008

TAHU TEK SPESIAL




Bahan-bahan :

1/2 kotak Tahu, goreng setengah matang
2 genggam Taoge, rendam air panas dan tiriskan
2 butir Telur kocok
Lontong
Kerupuk

Bahan bumbu :

1 genggam Kacang goreng
4 siung Bawang putih, ditumis utuh sampe kecoklatan
1 sdm Petis udang
1 sdt Asam jawa
2 sdm Kecap manis
2 sdm Gula jawa
Cabe rawit (menurut selera)
garam
Air panas

Cara membuat :
  • Pertama buat bumbunya dulu, campur semua bahan dan blender (haluskan) lalu diberi air sehingga kentalnya pas dan cicipi.
  • Potong-potong tahu, masukkan dalam telur kocok lalu goreng dalam minyak panas sampai kedua sisi kecoklatan.
  • Tata dalam piring saji, taoge, tahu telur dan lontong yang sudah digunting. Siram dengan bumbunya, hidangkan bersama kerupuk.

SOTO AYAM LAMONGAN




Bahan :

1 ekor ayam kampung (sekitar 700 gr), potong jadi 4 bagian
1.5 liter air
3 sdt garam
2 sdt gula pasir
3 tangkai seledri, simpulkan
50 ml minyak sayur untuk menumis
3 batang daun pre (leek), iris kasar
4 butir telur rebus kupas

Herbs :

5 lembar daun jeruk, sobek jangan putus
2 batang serai, geprak
3 cm lengkuas, geprak

Bumbu halus :

5 butir bawang merah, iris kasar & tumis setengah matang
5 siung bawang putih, iris kasar & tumis setengah matang
3 cm kunyit
3 cm jahe
1 sdt merica butiran
5 butir kemiri

Pelengkap :

75 gr soun, seduh air panas hingga lembut, tiriskan
Kripik kentang
Seledri, iris halus
Kecap manis
Irisan jeruk nipis
Sambal rebus (cabe rawit & sedikit kemiri, direbus & dihaluskan)
Koyah Bawang Putih *)
Kerupuk udang

Cara :
  • Panasin minyak, tumis bumbu halus sampe wangi.
  • Masukin herbs, terus tumis sampe pekat, angkat & sisihkan.
  • Didihkan air, masukin potongan ayam, telur rebus, sledri, garam, gula & tumisan bumbu. Kecilkan api, masak ayam dengan tutup dibuka dikiiitt... tetap dengan api simmer sampe bumbu meresap dan ayam empuk.
  • Tiriskan telur & ayam, setelah dingin disuwir2 ato diiris tipis, telur dibelah2, sisihkan.
  • Masukin irisan daun prei ke dalam rebusan kaldu, besarkan api ke medium.
  • Koreksi rasanya, tambahkan garam & gula lagi bila perlu.
  • Didihkan beberapa saat hingga daun prei matang (kalo merasa kuahnya kurang boleh ditambah air panas secukupnya). Matikan api.

Penyajian :

  • Susun dalam mangkuk secara berurutan: soun, ayam suwir dan irisan telur, siram dengan kuah panas, taburi 1 sdt koyah bawang putih, kripik kentang dan irisan daun seledri secukupnya.
  • Sajikan bersama sambal, kecap manis, irisan jeruk & krupuk udang.

*) Koyah Bawang Putih

Bahan :

10 siung bawang putih, iris tipis & jadikan bawang putih goreng

75 gr krupuk udang berkualitas bagus, goreng kayak biasa

Cara :

  • Tumbuk bawang putih goreng dan krupuk jadi satu sampe halus, aduk2 untuk meratakan. Siap dipake untuk taburan.

Note :

Pilih kunyit yang warnanya kuning tua agar warnanya cantikKalo suka bisa ditambahkan kubis yang diiris halus di mangkuk sebelum disiram kuah panas.Selain krupuk udang, enak juga disajikan bareng emping goreng.Untuk koyah, pilih krupuk udang berkualitas agar rasanya sedap dan tidak mekar jadi bubur saat bercampur kuah. Setelah ayam disuwir tulang2nya dimasukin kembali ke kuah untuk memperkaya kaldu.

IMPLANT COCHLEAR, HARAPAN BAGI PENGIDAP KETULIAN

Minggu, 22 April 2007

Rata-rata, alat ini mampu memulihkan pendengaran sekitar 70-80 persen dari pendengaran normal.

Saat itu, Aaron Manik berusia dua bulan. Tubuhnya montok, kulitnya putih, menggemaskan sekali. Namun, Villy Chandra, sang ibu, merasa ada sesuatu yang beres pada Aaron. ''Dia tidak pernah kaget bila tiba-tiba ada barang yang jatuh di dekatnya,'' tutur Villy, belum lama ini.

Naluri Villy tidak salah. Setelah diperiksa oleh dokter telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), diketahui syaraf pendengaran Aaron tidak sempurna. Namun, dokter THT di Jakarta itu tak bisa memberikan solusi yang melegakan bagi Villy. ''Katanya, pendengaran Aaron baru bisa diperbaiki setelah dia berusia lebih besar lagi".

Tak ingin anaknya terlalu lama berada di dalam 'dunia sunyi', Villy berusaha keras menemukan solusi. Saat itulah, beberapa teman memberinya informasi mengenai implant cochlear. Implant cochlear adalah alat yang dimasukkan ke telinga bagian dalam. Alat ini memberi bantuan pendengaran bagi pengidap ketulian total atau nyaris total. Pemasangan implant pada cochlea (ruang tempat selaput telinga) tidak sama dengan memasang alat bantu dengar (hearing aid) yang berfungsi sebagai penguat bunyi. Implant cochlear memintas bagian dalam telinga yang rusak untuk merangsang serabut syaraf indera pendengaran yang tersisa.

Aaron yang kini berusia 16 bulan, menjalani pemasangan implant cochlear pada Maret 2007 di Singapore General Hospital (SGH). Ia sama sekali tak terganggu dengan keberadaan alat itu di telinganya. Sebaliknya, ia terlihat gembira dan bereaksi ketika mendengar suara di sekelilingnya. Implant cochlear terdiri dari dua komponen. Pertama, komponen elektronik kecil yang ditanam di bawah kulit dekat cochlea. Komponen ini biasa disebut headpieces.

Kedua adalah alat yang diletakkan di bagian luar kepala untuk menangkap suara yang datang. Alat di bagian luar ini terbagi dua, yaitu alat yang secara magnetis menempel pada komponen elektronik kecil dalam kepala, dan alat yang ditempel di telinga (seperti alat bantu dengar).

Bagian dari implant cochlear yang diletakkan di luar kepala bekerja dengan menerjemahkan suara dalam bentuk sinyal elektronik tertentu. Sinyal ini kemudian mengalir lewat kabel kecil dalam headpieces. Headpieces lalu memancarkan gelombang radio kepada elektroda yang ditanam dalam cochlea. Sinyal elektroda tersebut merangsang syaraf pendengaran untuk mengirim informasi ke otak, yang selanjutnya diartikan otak sebagai bunyi yang bermakna bagi pendengarnya.

Profesor Low Wong Kein, direktur SGH Centre for Hearing and Cochlear Implants, menjelaskan, perkembangan kemampuan berbicara dan berbahasa pada anak-anak sangat tergantung pada kemampuannya untuk mendengar secara normal. Maka, pada anak yang terlahir tuli, perkembangan kemampuannya dalam berbicara akan terhambat. ''Anak harus bisa mendengar dahulu baru bisa bicara,'' katanya kepada beberapa wartawan Indonesia, termasuk Republika, di SGH belum lama ini.

Menurut Low, mendeteksi kemampuan mendengar pada bayi yang baru lahir sulit dilakukan tanpa tes tertentu. Padahal, makin muda usia anak, makin cepat proses pemulihan pendengarannya. ''Kemungkinan untuk mendengar seperti anak normal bisa mencapai 90 persen.'' Bahkan, pemasangan implant cochlear ketika usia anak sudah 2,5 hingga tiga tahun, menurut Low, sudah terlambat. Karena itu, ia menyarankan para orangtua untuk memeriksakan kemampuan mendengar anaknya sedini mungkin, yakni pada usia satu atau dua hari setelah kelahiran. Tes pendengaran tidak membutuhkan waktu lama. Cukup tiga sampai lima menit.

Implant cochlear tak hanya digunakan oleh anak-anak. Orang dewasa juga bisa menggunakan alat ini. Di SGH, sekitar 80 persen pasien implant cochlear adalah anak-anak, sisanya dewasa. Rata-rata, alat ini mampu memulihkan pendengaran sebesar 70 sampai 80 persen dari pendengaran normal. SGH merupakan rumah sakit pertama di Asia Tenggara yang melakukan prosedur implant cochlear. Sejak 1997, rumah sakit ini telah melakukan operasi pemasangan implant cochlear pada 300 pasien, 60 persen di antaranya dari Indonesia. ind

Lorong Edukasi

Mendengar untuk kali pertama, adalah sesuatu yang tidak mudah bagi anak-anak yang menggunakan implant cochlear. Karenanya, mereka butuh bantuan. Untuk itu, dibuatlah lorong edukasi bagi keluarga dan guru si anak yang menggunakan implant cochlear tersebut.

Hearing educational arcade, begitulah nama lorong edukasi yang ada di Singapore General Hospital (SGH). ''Inilah satu-satunya lorong edukasi pendengaran di dunia,'' kata Prof Low Wong Kein. Di lorong edukasi ini, keluarga dan guru diajak untuk mengetahui cara kerja implant cochlear dan dampaknya bagi kehidupan si anak. Alat untuk mengetahui kadar respons anak terhadap suara dipaparkan di lorong ini.

Dengan begitu, keluarga atau guru dapat memahami suara seperti apa yang didengar anak setelah menggunakan implant. Bagi guru, terdapat tayangan video mengenai kadar respons anak yang belajar di ruang berkarpet atau berlantai biasa. Lingkungan memang sangat berpengaruh terhadap proses perkembangan bicara anak dan kemampuannya beradaptasi dengan suara.

Bagi anak, disediakan tayangan mengenai tokoh terkenal yang memiliki keterbatasan pendengaran. Para tokoh ini diharapkan bisa menumbuhkan semangat mereka. Para tokoh yang tampil dalam tayangan itu adalah Ronald Reagan, Lou Ferigno (bintang serial televisi The Incredible Hulk) sampai Ludwig van Beethoven. Menurut Low, pembangunan lorong ini didanai oleh National Kidney Foundation Singapura. ''Tidak banyak yang tahu bahwa telinga dan ginjal sangat berhubungan. Contohnya, beberapa kasus penyakit ginjal berawal dari sakit di telinga.'' ind

Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=290381&kat_id=123

HEARING AIDS MEMBUKA JENDELA SUARA

Hearing aids membantu si kecil belajar mengenal dunia. Tersedia beberapa pilihan. Mana yang paling cocok untuknya?

Bagi penyandang gangguan pendengaran, dunia yang ingar bingar ini terasa sunyi dan senyap! Akibatnya, anak tunarungu tak bisa mengucapkan satu kata pun dengan sempurna. Ia kan tidak pernah mendengar dan menirukan suara apa pun sejak kecil.Maka ia sangat memerlukan alat khusus agar telinganya mampu menangkap berbagai suara.

Mengeraskan dan menyaring suara

Namanya saja alat bantu dengar. Jadi, fungsinya memang memperkeras suara yang biasa diterima oleh telinga normal. Repotnya, jika lingkungan sedang riuh rendah, bisa-bisa seluruh suara yang diterima telinga si kecil sama kerasnya. Atau, bukan tak mungkin suara bising itu malah menutupi suara orang yang mengajaknya berbicara.

Tapi, itu dulu lho! Sekarang, sudah banyak alat bantu dengar yang dapat mengolah suara yang masuk ke telinga, baik secara manual maupun secara otomatis. Nah, dengan teknologi digital pada alat bantu dengar, Anda bisa tetap berkomunikasi dengan si kecil, meski berada di tengah hiruk pikuk keramaian. Misalnya, di mal. Dengan teknologi baru ini, suara Anda akan diperjelas, sementara suara lingkungan yang “berisik” akan direduksi agar tidak menyakitkan telinganya.

Tak cuma suara keras dan lemah yang diolah. Tetapi, bagaikan dapur pengolah musik, alat bantu dengar yang kecil itu ada channel pengaturnya. Dari 2, 4, sampai 16 channel. Nah, pemilahan dan pengolahan channel-channel ini diatur oleh ahli ketika pendengaran si kecil diperiksa. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan kelemahan pendengaran anak pada suara bass, maka bagian tersebut yang akan diperkeras. Dengan cara ini, suara yang masuk bisa lebih jelas diterima.

Ini pilihannya!

Dari cara pemakaiannya, alat bantu dengar dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni :
  1. OTE ( Over The Ear ), BTE (Behind The Ear ), atau PA (Post Auricular). Adalah alat bantu dengar yang amplifiernya (pengeras suaranya) terletak di belakang daun telinga. Alat ini menerima dan mengeraskan suara, kemudian diantarkan melalui tabung kecil yang tercetak di earmold (cetakan lubang telinga yang berfungsi sebagai penyalur suara di telinga) yang terdapat pada telinga.
  2. Body Aids. Alat bantu dengar ini menggunakan amplifier, berupa kotak kecil yang ditempelkan di badan, lalu dihubungkan dengan kabel yang menghantarkan suara yang sudah diperkeras itu ke earmold. Bisa ke salah satu telinga atau kedua telinga yang membutuhkannya.
  3. Eyeglass Aids. Alat bantu dengar yang mirip kacamata ini terdiri dari amplifier, mikrofon, dan baterai. Semua piranti ini terletak ditangkai kacamata.Catatan: Alat ini masih jarang digunakan di Indonesia.
  4. ITE (In The Ear) dan ITC (In The Canal). Alat bantu dengar ini jadi sangat populer ketika presiden Amerika Ronald Reagan memakainya. Namun, alat bantu dengar ini bukanlah pilihan yang tepat untuk anak, karena telinganya masih tumbuh dan berubah terus. Kalau harus beli alat baru terus, wah terlalu boros. Harganya kan mahal. Apalagi, alat bantu dengar yang lama tidak mungkin dipakai lagi. Tak cuma longgar, biasanya suaranya juga jadi mendenging serta gampang jatuh.

Sebagai catatan, walau Anda membeli alat bantu dengar yang mahal sekalipun, tapi kalau pembuatan earmold -nya kurang oke, maka suara yang dihantarkan bisa saja mengalami gangguan. Misalnya, mendenging. Si kecil pun terganggu dan tidak mau memakai alat bantu dengarnya lagi.

Mana yang paling cocok?

Sementara ini, alat bantu dengar yang biasa dipakai anak-anak di Indonesia adalah body aids dan OTE. Apa sih bedanya?

Body aids

Kelebihan :

  • Harga ekonomis. Bahkan, paling ekonomis dibandingkan model lain.
  • Tidak mudah hilang. Alat ini memang agak lebih besar dari model yang lain. Sebab, dipakai seperti radio kecil atau walkman.
  • Mikrofon bisa digeser. Jika kurang jelas, alat ini bisa disorongkan ke sumber suara (tak perlu mendekatkan telinga ke sumber suara).

Kekurangan :

  • Telinga kanan kiri terpaksa menerima suara yang sama kerasnya. Proses penerimaan dan pengeras suara dari alat bantu ini hanya ada di satu tempat dan dikirimkan pada kedua telinga. Jika telinga kanan dan kiri agak berbeda kemampuan dengarnya, maka telinga yang lebih peka jadi tidak nyaman.
  • Tak bisa menentukan lokasi. Penerima dan pengeras suara hanya satu, maka suara yang masuk hanya dari satu arah saja. Akibatnya, si kecil tak bisa menentukan lokasi orang yang mengajaknya bicara.
  • Kemungkinan adanya suara feedback atau mendengung, jika pembuatan earmold kurang baik.

OTE

Kelebihan :

  • Bisa menentukan lokasi. Penerimaan dan pengolahan suara di masing-masing telinga membuat anak bisa membedakan arah datangnya suara, seperti depan, belakang, kanan atau kiri.
  • Dapat diatur sesuai kebutuhan masing-masing telinga. Pemakaian kedua alat di telinga kanan dan kiri membuat kemampuan penerimaan dan pengolahan suaranya dapat dibedakan sesuai dengan kadar gangguan masing-masing telinga. Si kecil jadi lebih nyaman.

Kekurangan :

  • Harganya lebih mahal dibandingkan dengan body aids. Semakin canggih peralatan digitalnya, semakin mahal. Bisa didapat mulai dari harga tiga jutaan sampai sekitar 20 juta rupiah untuk satu telinga.
  • Pada OTE yang sederhana, pemakai harus mendekatkan telinganya ke sumber suara kalau merasa kurang jelas.

Memang pemilihan alat bantu dengar tergantung pada kebutuhan si kecil dan kemampuan Anda. Jika anak (terutama yang masih kecil) menolak memakai alat ini, jangan terlalu khawatir. Mungkin saja, ia merasa risih dengan alat barunya. Meski begitu, Anda juga perlu ekstra memberi perhatian jika alat tersebut agak mengganggunya. Jadi, bisa dilakukan perbaikan atau pengaturan suara.

Biasanya, begitu bisa menangkap suara yang menyenangkan, si kecil ingin memakai alat bantu dengar setiap harinya. Bahkan, jika sudah terbiasa memakai alat bantu dengar, ia justru akan rewel begitu alat itu dilepaskan.

Gradasi Gangguan

  1. Gangguan pendengaran ringan. Masih bisa bicara normal. Mulai mengalami gangguan ketika sekolah, karena tak bisa mendengar suara dari jarak jauh.
    Catatan: Biasanya, kondisi ini baru terdeteksi ketika si kecil mulai sekolah. Pemakaian alat bantu dengar akan memudahkannya mengikuti pelajaran di kelas.
  2. Gangguan pendengaran sedang. Bisa mendengar orang bicara, asal jaraknya sangat dekat (sekitar ½ meter). Nah, alat bantu dengar ini membantu memperjelas suara orang, sehingga komunikasi jadi lebih lancar.
  3. Gangguan pendengaran berat. Biar diajak bicara dalam jarak yang sangat dekat, si kecil tetap saja tak bisa mendengar tanpa alat bantu dengar.
    Catatan: Kalau alat bantu dengar tidak diberikan sejak dini, si kecil jadi sulit belajar bicara. Kalau ia cuma membaca bibir saja, hanya 25% bunyi konsonan yang dapat terdeteksi.
  4. Gangguan pendengaran sangat berat. Alat bantu dengar yang paling kuat sekalipun jadi tidak berarti. Nah, alat bantu dengar yang paling mungkin diberikan adalah cochlear implant . Penanaman alat bantu dengar di bagian telinga tengah (cochlea) ini dilakukan dengan cara operasi. Dengan alat ini, diharapkan si kecil dapat mendengar suara percakapan biasa.

Waspadalah Jika ...

  • Tidak terkejut atau menangis begitu ada suara yang keras. Misalnya, bantingan pintu atau suara benda jatuh.
  • Tidak menoleh ketika dibunyikan mainan yang bergemerincing.
  • Tidak bereaksi saat seseorang berbicara keras-keras di dekatnya atau memanggil namanya.
  • Berhenti dari kegiatan berceloteh pada usia setahun.
  • Kalaupun pernah tahu namanya, si kecil tidak segera menoleh begitu dipanggil namanya. Mungkin saja, pendengarannya sudah agak menurun.

Jangan Remehkan Keluhan Anak

  • Jika ia sering mengeluh atau menolak mengenakan alat bantu dengar, laporkan kepada ahli audiologi yang memeriksanya. Bisa jadi, earmold -nya sudah tidak cocok lagi. Atau, setelan suaranya belum pas sehingga berisik.
  • Perhatikan situasi dan suara apa yang membuatnya tak senang atau tak nyaman. Dengan begitu, ahli audiologi bisa mengatur ulang setelan suara alat bantu dengarnya.
  • Begitu ada iritasi di bagian belakang telinga, laporkan ke dokter atau ahli audiologi. Mungkin saja, ukuran alat bantu dengar harus diperbaiki, bahannya diganti atau perlu perawatan tertentu. Kalau sampai iritasinya mengganggu, bawa si kecil ke dokter dulu untuk diobati.

Merawat Alat Bantu Dengar

  • Periksa setiap hari apakah baterai alat bantu dengar masih berfungsi atau perlu diganti.
  • Perhatikan apakah kutub positif dan negatif dari baterai sudah terpasang dengan benar atau tidak.
  • Jika menggunakan body aids , periksa kabel-kabelnya. Apakah tidak terlilit atau rusak?
  • Jika memakai OTE yang dipasang di belakang telinga, perhatikan tabung kecil pengantar bunyi pada earmold . Pastikan tabung tidak terpelintir atau tertekuk. Jika sudah beberapa kali terpelintir atau tertekuk, mungkin sudah waktunya si kecil mendapat earmold baru
  • Perhatikan apakah tabung pengantar bunyi berubah warna jadi kuning atau sudah keras? Ini juga tanda kalau si kecil butuh earmold dan tabung baru.
  • Periksa apakah tabung lembab atau tidak. Ingat, setetes air bisa menghambat suara yang masuk. Juga, tetesan keringat bisa menyebabkan gangguan bunyi pada alat tersebut
Sumber : http://www.ayahbunda-online.com/info_ayahbunda/info_detail.asp?id=Balita&info_id=202

Sabtu, 05 April 2008

KLASIFIKASI DAN JENIS KETUNARUNGUAN SERTA METODE PENGAJARAN BAHASA BAGI ANAK TUNARUNGU

Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya :

  1. Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
  2. Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.
  3. Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.

Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu :

  1. Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
  2. Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
  3. Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
  4. Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).

Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994).

Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel. Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz (Ashman & Elkins, 1994).


Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.

Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

  1. Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading). Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan "membaca" ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "tersembunyi" itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994). Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
  2. Belajar Bahasa Melalui Pendengaran. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997). Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
  3. Belajar Bahasa secara Manual. Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.

Pendekatan Auditori verbal

Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).

Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut :

  • Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
  • Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
  • Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
  • Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
  • Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
  • Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
  • Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
  • Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
  • Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
  • Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.

Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup "reguler". Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).

Pendekatan Auditori Oral

Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).

Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup :

  • Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
  • Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
  • Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
  • Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.

Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.

Sumber : http://www.plbjabar.com/index.php?inc=artikel&id=26

Jumat, 04 April 2008

Sedikit Cerita

Hari Kamis kemarin saya baru saja pulang dari Makassar untuk mengantar si kecil berobat. Awal perjalanan saya ini dimulai ketika saya dan suami mengetahui kelainan yang di derita si kecil pada akhir Februari lalu.

Saat itu (tepatnya tanggal 27 Februari 2008) saya dan suami sedang mengantar anak-anak untuk mendapatkan vaksin IPD (Invasive Pneumoccocal Disease). Saat itu saya berinisiatif untuk sekalian konsultasi ke dokter anak tentang perkembangan si kecil yang saat itu telah menginjak usia 8 bulan tapi belum bisa duduk. Pada saat diperiksa oleh dokter anak, ketika sang dokter menjentikkan jarinya untuk mengetahui respon si kecil, ternyata si kecil tidak merespon. Pada saat itu saya masih belum menyadarinya, justru suami sayalah yang ternyata lebih peka. Singkat cerita hari itu kami pulang setelah selesai memberi vaksin pada anak-anak tanpa membahas lebih lanjut tentang kejadian di ruang konsultasi dokter.

Ternyata suami saya tidak tahan juga untuk tidak mengatakan kecurigaannya pada saya. Seminggu setelah kejadian di Rumah Sakit itu akhirnya suami mengatakan kecurigaannya itu. Pada awalnya saya tidak percaya. Tetapi setelah saya mencoba untuk memanggil si kecil dengan suara keras, ternyata benar... sii kecil tidak merespon suara saya. Saya mencoba lagi dengan menggunakan mainannya yang bersuara nyaring. Saya membunyikannya di sebelah kanan si kecil, tapi tidak ada respon. Saya mencoba di sebelah kiri juga tidak ada respon. Terakhir saya memcoba membunyikannya di belakang si kecil, ternyata juga tidak ada respon. Saat itu jantung saya terasa berhenti berdetak dan dunia runtuh. Saya tidak menyangka kalau selama ini ternyata si kecil tidak dapat mendengar. Hati saya hancur, sampai menangis pun saya sudah tak sanggup lagi. Saya menyalahkan diri saya atas kejadian tersebut. Karena ternyata penyakit yang diderita si kecil itu akibat dari sakit yang saya derita pada masa kehamilan baru menginjak bulan pertama. Pada saat itu saya terserang penyakit campak (tapi pada saat itu saya tidak tahu kalau yang saya derita itu penyakit campak, dokter hanya bilang kalau saya terkena semacam virus). Baru saat ini saya tahu kalau ternyata sakit yang saya derita itu disebabkan virus Rubella yang tidak dinyana telah merengut pendengaran si kecil.

Akhirnya untuk memastikan kondisi pendengaran si kecil, pada tanggal 10 Maret 2008 saya dan suami kembali membawa si kecil ke Rumah Sakit. Saat itu dokter agak kesulitan untuk memastikan kondisi pendengaran si kecil karena kurangnya alat hingga diputuskan untuk mengirim si kecil ke Makassar.

Pada tanggal 17 Maret 2008 kami sekeluarga bertolak ke Makassar. Setibanya di Makassar kami bertemu dengan Dr. Eka Sp.THT yang akan memeriksa kondisi pendengaran si kecil lebih lanjut. Tetapi ternyata kami belum bisa mendapatkan hasilnya hari itu, karena pemeriksaan BERA (Brainstem Evoke Response Audiometry) baru dapat dilakukan keesokan harinya. Hari itu dokter hanya melakukan pembersihan ada kedua telinga si kecil dan memberikan obat anti alergi dan antibiotik karena pada saat itu si kecil sedang terkena flu dan ada sedikit infeksi di telinga kirinya.

Keesokan harinya tepatnya ada pukul 8 pagi, kami menuju Rumah Sakit Mitra Husada yang dijadikan rujukan oleh dokter THT untuk melakukan tes BERA. Hasil dari tes BERA sudah saya duga tidak akan bagus. Saya tidak terkejut lagi mengetahuinya. Sejak saat itu saya tidak mau terpuruk pada penyesalan, saya harus bangkit demi si kecil. Saya mencari berbagai informasi yang berhubungan dengan penyakit si kecil, dan menemukan beberapa artikel yang kemudian memompa semangat saya untuk membantu si kecil semampu saya. Itulah awal dari perjalanan saya.